Dr. Hakiman, M.Pd.
Salah Satu pesan besar dalam kurikulum merdeka adalah pembelajaran yang bersifat kontekstual. Kontekstualisasi pembelajaran mengarah pada satu titik yaitu peserta didik sadar akan fenomena sosial yang dihadapi di masyarakat. Kontekstualisasi merupakan proses atau tindakan memahami atau menafsirkan sesuatu dengan mempertimbangkan konteks atau latar belakang yang relevan. Konteks sendiri melibatkan berbagai elemen seperti agama, budaya, ekonomi, politik, lingkungan yang mempengaruhi perubahan hidup makna manusia.
Dalam Islam sendiri kata Iqra ketika ditinjau dari kajian historis sudah menunjukkan kontekstualisasi, Nabi Muhammad SAW melihat dan memandang kondisi masyarakat jahiliyah yang jauh dari tatanan moral, budaya dan etika. Dari situlah Nabi Muhammad berkholwat di atas bukit bernama gua Hiro untuk melakukan refleksi terhadap apa yang terjadi pada masyarakat Jahiliyah. Proses perenungan atas fenomena sosial yang ada di masyarakat Arab merupakan bagian dari proses pembelajaran, pelibatan diri dalam memahami dan menganalisis masalah yang hadir saat itu dengan tujuan yang mulia yaitu ingin merubah perilaku jahiliyah yang disandarkan pada Sang Kholik yaitu al-Alim.
Wahyu pertama turun diawali dengan kata Iqra, kata Iqra berasal dari fi’il “Qara’a” yang dapat diartikan membaca, menelaah, menyampaikan, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan lain sebagainya, yang semuanya bermuara pada arti menghimpun. Merujuk pada tafsir al-misbah (red tafsir al-misbah) Muhammad Quraish Shihab menyampaikan bahwa dalam kaidah kebahasaan, apabila kata kerja transitif tidak menyebutkan objek, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau kata itu.
Perintah Iqra, bukan hanya perintah membaca kitab suci semata, tetapi mencakup membaca semua yang ada di alam raya ini. Membaca kondisi sosial kemudian melakukan kajian analisis terhadap masalah tersebut sampai pada menemukan solusi atas masalah yang ada, yang merupakan hakikat dari tujuan pendidikan. Membangun pengetahuan melalui pengalaman menjadi bagian terpenting dalam pendidikan.
Kontekstualisasi pembelajaran secara teologis juga dapat dilihat dari kandungan Q.S kahfi ayat 60-80 dimana kandungan ayat tersebut mengisahkan tentang pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir atas kehendak Allah, Swt. Dalam proses perjalanan Nabi Musa dengan Nabi Khidir mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, di mana Nabi Musa mendapatkan pelajaran dari Nabi Khidir atas kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Pengalaman dalam menghadapi masalah yang muncul kemudian menciptakan pengetahuan baru bagi Nabi Musa yang sudah merasa orang sangat berilmu. Permasalahan yang dihadapi oleh Nabi Musa di dalam kontek yang berbeda-beda menunjukkan bahwa pengetahuan selalu dinamis ketika disandingkan dengan kontek sosial.
Tujuan dari pendidikan adalah melakukan perubahan sosial, perubahan sosial akan terwujud apabila adanya keyakinan dan kesadaran atas fenomena sosial. Transformasi sosial dilandaskan akar teologis yaitu berupa akidah, keyakinan kepada Sang Kholik harus lebih menguatkan sistem hubungan sosial manusia. Semakin kuat akidah seseorang maka semakin kuat juga kepedulian sosialnya. Maka menurut Hasan Hanafi disebut dengan min al-Aqidah ila al-tsawrah dari akidah ke revolusi, yaitu melakukan perubahan secara cepat yang berkaitan dengan pokok-pokok kehidupan manusia.
Transformasi sosial akan terwujud jika dilakukan melalui kontekstualisasi, karena dengan kontekstualisasi lah perubahan akan terjadi yaitu perubahan pada struktur pengetahuan menuju perubahan struktur kehidupan di masyarakat. Pendidikan bersentuhan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain-lain. Hal ini lah yang akan dibangun dalam kurikulum pendidikan kita melalui kurikulum merdeka.
Filsafat pendidikan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan juga beririsan dengan konsep kurikulum merdeka dimana pendidikan mampu membebaskan manusia dari keterbelengguan sosial. Pendidikan diperuntukkan untuk bersentuhan dengan realitas peserta didik dimana mereka berada, analisa permasalahan di lingkungan sekitar dianalisis dan dikontekstualisasikan.
Freire melakukan kontekstualisasi pembelajaran atas masyarakat buruh yang buta huruf yang tertekan dengan sistem kekuasan pemerintah. Pendidikan menjadi alat penindasan kekuasaan pada masyarakat yang kemudian memunculkan gerakan pendidikan pembebasan. Pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan belenggu penindasan atas dasar pendidikan. Kontekstualisasi pembelajaran menjadi alat pembebasan peserta didik dalam mencari ilmu pengetahuan sehingga pembelajaran lebih mengedepankan dialektika daripada doktrinasi.
Prinsip ini menekankan pentingnya mempertimbangkan konteks sosial dan budaya dalam memahami pengetahuan. Faktor-faktor seperti nilai-nilai budaya, norma sosial, struktur kekuasaan, dan faktor-faktor sosial lainnya dapat mempengaruhi makna setiap pengetahuan manusia. Pembelajaran bersentuhan dengan realitas sosial dengan menggunakan berbagai pendekatan dan model pembelajaran. Untuk mendukung hal tersebut sebelumnya telah muncul gagasan yaitu metode pembelajaran seperti Student Centered Learning (SCL), Contextual Teaching and Learning (CTL), Independent Learning, Emancipatory Learning, Innovative Teaching, dan lain-lain. Semua pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered) hal tersebut selaras dengan konsep yang diprakarsai oleh John Dewey sejak satu abad yang lalu.
Kontekstual juga dipengaruhi oleh filosofi konstruktivisme yang digagas oleh Mark Baldwin dan dikembangkan oleh Jean Piaget. Filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep proses pembelajaran. Belajar tidak hanya mengingat, tetapi juga proses membangun pengetahuan melalui pengalaman. Ada tiga jenis skenario pembelajaran (berbasis proyek, berbasis tujuan, dan berorientasi pada penyelidikan) (Charles, 2017).
Dalam literatur pembelajaran dikenal dengan konsep pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL). CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka sendiri.
Dalam perkembangannya, CTL memberi titik tekan pada cara berpikir tingkat tinggi (high order thinking – HOT), transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisisan, pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan perspektif. Menurut Blanchard (2001), strategi CTL dapat membantu memenuhi kebutuhan masing-masing siswa yang berbeda, meliputi: 1). Menekankan pada pemecahan masalah, 2). Menyadari perlunya pembelajaran dalam berbagai konteks, 3). Mengajarkan siswa untuk memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri, 4). Mengajar sesuai dengan keragaman konteks kehidupan siswa dan 5). Mendorong siswa untuk belajar dari satu sama lain dan bersama-sama menggunakan penilaian otentik.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu: 1). Konstruktivisme (constructivism): menekankan pentingnya siswa membangun pengetahuannya sendiri lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Pembelajaran akan memiliki makna apabila secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pengalaman yang dialami siswa sehari-hari. 2). Inkuiri (inquiry): pengetahuan dan keterampilan siswa bukan diperoleh hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Adapun siklus dari inquiri meliputi observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, penyimpulan. 3). Bertanya (questioning): kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
4). Masyarakat belajar (learning community): bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah dimana kedua belah pihak saling memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Membangun learning community dapat dibangun melalui literasi yang kuat diantara pelaku pembelajar. 5). Pemodelan (modeling): dalam hal ini guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa berdasarkan kemampuan/pengetahuan yang dikuasai. Model juga bisa didatangkan dari luar yang ahli dibidangnya. Model dalam hal ini adalah siapa saja yang menguasai dalam suatu bidang pengetahuan dia berhak menjadi model dalam pembelajaran. Siswa yang menguasai suatu bidang teknologi misalnya dia bisa menjadi model untuk siswa yang lainnya di dalam kelas, keterbukaan dalam hal baru menjadi penting dalam hal ini.
6). Refleksi (Reflection): cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa yang lalu. Refleksi merupakan respon dari kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterimanya. Refleksi diperuntukkan untuk melakukan perbaikan pengetahuan dan pengalaman seorang pembelajar. 7). Penilaian autentik (Authentic assessment): proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Dalam hal ini penilaian tidak hanya dilakukan oleh guru, tetapi bisa juga oleh teman atau orang lain.
Johnson (2014) komponen komponen penting dalam kontekstualisasi yaitu: membuat keterkaitan yang bermakna, melaksanakan pekerjaan yang bermakna, melaksanakan pembelajaran mandiri, berkolaborasi, berpikir kritis dan kreatif, membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa, mencapai standar tinggi, dan menggunakan penilaian otentik.
CTL hanyalah model dalam pembelajaran untuk meningkatkan proses pembelajaran yang lebih bermakna, tetapi ada hal yang lebih mendalam yaitu bagaimana seorang guru dan dosen selalu menghadirkan materi kontekstual di dalam kelas. Kontekstualisasi materi ajar akan menghadirkan kajian-kajian analisis, sehingga pembelajaran tidak kering dari isu-isu kontemporer yang dihadapi masyarakat termasuk didalamnya adalah guru, dosen, siswa dan mahasiswa. Hal tersebut selaras dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menyampaikan bahwa pendidikan harus sesuai dengan kodrat zaman nya.
Sumber bacaan
Johnson Elaine B. (2014). CTL Contextual Teaching and Learning. Bandung: Kaifa
Blanchard, A. (2001). Contextual Teaching and Learning. Educational Services
Paulo Freire. (2001). Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage. Rowman & Littlefield Publishers. https://www.amazon.com/Pedagogy-Freedom-Democracy-Perspectives-Dedicated/dp/0847690474
Clemente Charles H. (2017). Contextual Teaching and Learning for Practitioners. https://www.iiisci.org/journal/pdv/sci/pdfs/e668ps.pdf
Hasan Hanafi, “Min al-'Aqîdah ila al-Tsawrah”, Dari Akidah ke Revolusi. (2003). Jakarta: Paramadina
***
Editor: Saiddaeni