Oleh: Laraswati Lestari_213111126
“Untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Nanti juga ujung-ujungnya di dapur.”
“Nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti susah dapat pasangan loh.”
Dan masih banyak lagi ujaran negatif seperti itu yang kerap ditujukan kepada para perempuan yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang tinggi. Pola pikir diskriminatif yang menganggap bahwa perempuan hanya cukup mengurus rumah, suami, anak dan tidak perlu mengejar pendidikan tinggi. Akibatnya, banyak perempuan yang tidak bisa mengejar impian mereka karena terhalang oleh pandangan-pandangan yang membatasi kemampuan mereka.
Sedangkan dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913, disebutkan:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah, No. 224).
Dari hadits diatas menunjukkan bahwa hukum menuntut ilmu adalah fardlu’ain (wajib bagi tiap-tiap individu) baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu tanpa terkecuali. Maka juga sudah menjadi kewajiban bagi para perempuan untuk mengejar pendidikan karena hal tersebut juga merupakan kewajiban bagi perempuan untuk menuntut ilmu.
“Semakin tinggi pendidikan perempuan, maka akan semakin susah untuk diatur. Susah juga nanti cari suami, nanti laki-laki pada minder untuk mendekati.”
Bukan susah diatur, hanya saja melalui pendidikan, perempuan sudah terlatih dan terasah pola pikirnya untuk tidak mudah percaya atau menerima suatu informasi secara mentah-mentah. Sebab wanita berpendidikan juga paham bagaimana menjadi istri dan ibu yang baik, selama pasangannya sendiri bisa menjelaskan dengan baik dan logis. Maka itupun menjadi alasan mengapa perempuan ingin pasangan yang setidaknya setara cerdasnya dengan dirinya, agar apapun yang dilakukan perempuan itu tidak dianggap sebagai keangkuhan atau kesombongan, melainkan bentuk ketelitian dan bagian dari proses untuk berkembang bersama pasangan. Tujuan perempuan berpendidikan tinggi bukan untuk menyaingi laki-laki. Lagi pula wanita yang paham agama meskipun pendidikan dirinya lebih tinggi dari suaminya, dia akan tetap menghormati, menghargai, dan taat pada pasangannya selagi itu bukan dalam hal kemaksiatan. Lagi pula mengenai jodoh, kematian, dan rezeki hanya Allah SWT. Yang mengatur sudah ditakdirkan jauh sebelum kita lahir.
"Kamu kan, perempuan. Ngapain belajar dan ngejar kuliah tinggi-tinggi? Nanti juga cuman ngurus anak."
Justru itu. That’s the whole point. Perempuan akan jadi seorang IBU. syaikh Shaleh al- Fauzan dalam kitab "Makaanatul mar-ati fil Islam” dalam bait syairnya, beliau berkata:
الأم مدرسة إذا أعددتها أعددت شعباً طَيبَ الأعراق
“Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.”
Perempuan belajar dengan tekun karena akan menjadi seorang ibu untuk anak-anaknya kelak. Perempuan akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anak nya. Setiap Anak berhak untuk dididik dan dibesarkan oleh ibu yang cerdas dan berpendidikan. Anak-anak akan bertanya tentang banyak hal, tentang pelajarannya di sekolah, tentang bagaimana menyelesaikan masalahnya, dan tentang agama kepada Orang Tuanya. Bayangan jika terdapat seorang anak yang bertanya kepada ibunya namun sang Ibu tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Sebagai seorang perempuan, aku tidak ingin ada jawaban-jawaban bodoh yang keluar dari mulutku. Aku ingin anakku melihatku sebagai perempuan yang penuh pengalaman dan wawasan, yang dapat menjadi inspirasi dan panutan bagi mereka.
Konsultan genetik sekaligus spesialis anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dr Yulia Ariani menjelaskan bahwa sekitar 40-60 persen kecerdasan anak diturunkan dari gen Orang tuanya. Selebihnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti lingkungan. Maka dengan pendidikan dipersiapkan lah gen yang baik untuk diturunkan dan dengan pendidikan pula dapat tercipta lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang anak.
“Sarjana, tapi sayang kalau nanti cuma jadi Ibu Rumah Tangga”
Lantas kenapa kalau perempuan menjadi Ibu Rumah Tangga dengan gelar Sarjana nya? Berpendidikan dan berkarir adalah suatu hal yang berbeda. Berpendidikan adalah sebuah keharusan, sedangkan berkarir adalah sebuah pilihan. Ibu Rumah Tangga dan Wanita Karir itu tentang pilihan, tentang passion, tentang pencapaian yang diinginkan oleh seorang perempuan. Memiliki gelar tapi memilih menjadi Ibu Rumah Tangga adalah pilihan yang harus diapresiasi. Ia lebih nyaman dan lebih bahagia dengan pilihannya menghabiskan waktunya mengurus anak, suami, dan rumahnya. Sebab perempuan yang terbaik adalah yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah dan anak-anaknya.
Hargai setiap pilihan yang diambil oleh setiap perempuan. Ia pasti memiliki pertimbangan yang matang dalam memilih peran. Tak perlu menganggap bahwa gelar akan sia-sia jika pada akhirnya memilih menjadi seorang Ibu Rumah Tangga. Bukankah lebih baik jika menjadi seorang Ibu Rumah Tangga yang berpendidikan? Tak ada ilmu yang sia-sia, tak ada peran yang lebih hebat, semua peran memiliki kesulitan dan kemudahan masing-masing.
Dahulu R.A Kartini bersusah payah memperjuangkan emansipasi wanita mengangkat derajat perempuan agar memperoleh hak-haknya terutama pendidikan. Maka jangan batasi perempuan untuk mengejar impiannya, sebab semua orang memiliki hak yang sama dalam menuntut ilmu. Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, Seorang wanita wajib berpendidikan tinggi, karena ia akan menjadi Ibu.
Referensi:
Diva Lufiana Putri dan Rizal Setyo Nugroho. (2023). Kecerdasan Anak Disebut Diturunkan dari Ibu, Bagaimana Menurut Sains?. Diakses pada 7 Desember 2023 dari https://www.kompas.com/tren/read/2023/05/19/180000365/kecerdasan-anak-disebut-diturunkan-dari-ibu-bagaimana-menurut-sains-?page=all
Wikhdatun Khasanah.(2021). Kewajiban Menuntut Ilmu dalam Islam. Jurnal Riset Agama. Vol. 1, No. 2. pp. 296-307
Yuviekha Dhea Pratiwi dan Ode Moh. Man Arfa Ladamay. (2023). Ibu Adalah Sekolah Pertama (Al Ummu Madrasatul Ula) Bagi Anaknya Dalam Buku Bidadari Itu Adalah Ibu Karya Ninik Handrini. TAMADDUN : Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Keagamaan. Vol. 24 No. 1. pp. 17-26
***
Editor: Saiddaeni