04 December 2023

Dunia Pendidikan Indonesia Membunuh Mental Para Generasi Seniman

 

Oleh : Ririh Sasmyta Wayahzuri

Mahasiswa S1 Pendidikan Agama Islam

UIN Raden Mas Said Surakarta

IG : ririh_sw
 

Seni adalah suratan pengekspresian jiwa kepada khalayak dari lentik artistik penciptanya, seni tidak selamanya di nilai, di banding-bandingkan, bahkan lebih parahnya mengolok karya seni padahal dia tidak bisa menemukan letak estetika dari seni yang ia olok. Terkadang saya berpikir apa SDM kita ini belum siap untuk di suguhkan mahakarya indah dari para seniman kita ?, atau tidak pernah diajarkan bagaimana intelektual menghargai seni.

Saya sebagai penulis, benar-benar mencurahkan keresahan hati saya pada kepenulisan ini. Dengan ini saya ingin bercerita tentang pengalaman berkesenian saya selama saya menyelam mengais ilmu di lembaga pendidikan, dan ini ada kaitannya dengan apa yang selama ini saya resahkan. Menurut pandangan saya, dunia pendidikan Indonesia belum bisa merangkul generasi seniman hingga bisa menghantarkan mereka pada apa yang mereka tuju. Saya menyimpulkan ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, berikut adalah faktor-faktornya :

  1. Tatanan Kurikulum.

Pada saat saya SD, sebenarnya ada mata pelajaran yang namanya Seni Budaya, tapi itu selalu berpihak pada kurikulum yang sudah menetapkan mau kemana tujuan materinya, seolah-olah jiwa berkesenian para siswa ditentukan oleh kurikulum padahal selera dan arah kesenian itu sifatnya individual dimana para punya genre masing-masing dan tidak ada yang  boleh menghakimi pilihan siswa tersebut.

  1. Tenaga Kependidikan.

Pengalaman saya saat duduk dibangku sekolah menengah, guru Seni Budaya tidak jelasnya identitas keahliannya. Apakah guru sarjana akuntansi (S.Ak) diperkenankan mengajar di bidang seni ?, tentu perlu dipertanyakan. Dari pengamatan saya berposisi sebagai murid pada saat itu, guru tersebut tentu saja mencerminkan kharisma guru, tapi tidak dengan kharisma sebagai seniman, masa iya guru tersebut memberi tugas menggambar lalu dinilai sesuai selera guru itu sendiri yang intinya memandang karya seni dari sudut pandang pribadi, padahal hal itu haram dilakukan dalam prosesi penilaian seni. Tapi balik lagi ke tatanan kurikulum, karena guru mengajar sejalan dengan alur kurikulum.

  1. Fasilitas Sekolah.

Umumnya ketika siswa kurang mendapat asupan pengetahuan tentang seni di kelas, dia akan mencari kekurangan itu di luar pembelajaran, tentu saja ekstrakurikuler di anggap penyelamat dari problem itu dan siswa merasa senang karena di lingkungan sekolah masih ada hal yang menutupi kejenuhannya. Iya kalau sarana prasarananya mendukung, kalau tidak malahan akan menambah masalah yang ada. Laboratorium seni atau sejenisnya seperti laboratorium musik yang seharusnya memiliki fasilitas yang diperlukan termasuk alat-alat penunjangnya tidak tersedia bahkan jauh dari kategorinya sebagai ruang seni.

  1. Dukungan Keluarga.

Lingkungan sekitar pun tak luput dari peran vitalnya. Syukur dan senang rasanya saya memiliki orang tua yang mengerti dan mendukung minat dan bakat saya yang kebetulan potensial dalam seni musik, dengan motivasi dan dorongan berupa orang tua saya membelikan saya alat musik, saya bisa mengerti dari pandangan orang tua saya “Nak, buat kamu sukses itu nggak harus nilai matematika mu seratus, yang penting kamu hidup dari apa yang kamu senangi bukan dari keterpaksaan yang malah ujung-ujungnya kamu tidak menikmatinya”.

Setelah sekian banyak saya mengkritik, tak adil rasanya jika hanya mengkritik tapi tidak memberikan solusi, berikut solusi yang saya tawarkan yang mungkin bisa dijadikan rujukan.

  1. Memperbaiki tatanan kurikulum dan mengoptimalkan muatan lokal sehingga lebih memberikan kebebasan kepada siswa dalam mengekspresikan jiwa seninya.
  2. Tempatkan guru sesuai bidang keahliannya dan memberikan pelatihan profesionalitas kepada para guru.
  3. Memberikan edukasi kepada para orang tua/wali siswa yang belum memahami kebebasan siswa dalam berkesenian

Walaupun saya tidak banyak belajar kesenian di lingkup sekolah, tapi setidaknya saya mau dan tak malu mengeksplor sekiar demi mengasupi rasa haus saya akan seni. Dari sini kita tau, belajar tak melulu di sekolah, tapi cari pengalaman di luar karna kita tidak tau ilmu yang kita cari lebih luas dari pada di sekolah. Semoga kedepannya generasi milenial mau dan tak malu menggelorakan jiwa berkeseniannya, karna “seni adalah ledakan” kechawww !!  

***

 

Editor: Saiddaeni

 

 

Dunia Pendidikan Indonesia Membunuh Mental Para Generasi Seniman