UIN SURAKARTA- Namaku Aini, aku adalah gadis desa, gadis yang benar-benar biasa saja. Maksudku ingin menulis ini adalah, untuk meng-ejakan sederet unek-unek yang mungkin juga dirasakan oleh mereka ‘perempuan’ bergelar ‘gadis desa’.
Jauh dari alam perkotaan menjadikan aku banyak tidak tahunya, bahkan aku tidak mengerti bagaimana kehidupan orang-orang kota yang sebenarnya. Namun para orang tua disini bilang : “Kota itu keras, panas, macet, isinya cuma kriminal saja, tidak perlu ingin kesana, tinggal di desa sudah cukup,neng”.
Aku yang saat itu masih kecil, tentu saja hanya mengangguk setuju, lagipula keseharianku memang selalu disini, di desa. Bagiku bertemu dengan angon para penggembala kerbau yang sedang membajak sawah, teman-teman bermain layangan adalah sebuah hal yang cukup menyenangkan. Bahkan aku pernah mendeklarasikan diri untuk terus tinggal didesa ini, desa yang amat aku cintai.
Hari demi hari berlalulalang dengan sangat cepat, keseharianku adalah membantu ibu membereskan rumah, kemudian setiap siang pergi ke ladang ataupun sawah guna mengantar makanan untuk bapak. Saat diperjalanan menuju sawah, aku melihat gambar anak yang sedang menggendong tas, berseragam rapi dengan wajah ceria dari kertas bungkus gorengan yang kubawa. Dalam gambar itu, mereka seperti seusia denganku. Muncul rasa iri dalam hatiku, iri ingin seperti mereka, mendapatkan kesempatan bersekolah.
“Bapak, ini makanan dari ibu. Habis ini neng langsung pulang ya, tadi diminta ibu buat bantu cuci baju” tandasku pada bapak sambil menaruh kresek yang berisikan rantang dan sebotol air putih. Neng adalah kata sapaan untuk anak perempuan disuku Sunda. Aku pun segera bergegas meninggalkan sawah menuju rumah, aku tidak ingin membuat ibu menunggu terlalu lama.
Saat di perjalanan pulang, ada satu hal yang mengganjal hatiku, rasanya seperti ingin sedih. Aku terus membayangkan pemandangan tadi pagi, tentang mereka yang menggendong tas dan berseragam rapi dengan ceria. Betapa mereka sangat beruntung, bisa bersekolah dengan suka ria, tanpa perlu repot-repot membantu orang tuanya, mereka bisa bebas belajar,
Menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang mungkin menghantui tidur lelap mereka. Mereka bisa berhitung degan cepat, membaca dengan lancar, serta mereka dapat bermain bersama bapak/ibu guru. Huftttt... kuhela nafas yang sedikit berat ini. Karena keasyikan melamun, aku tidak sadar kalau ternyata sudah sampai didepan rumah, rumahku yang desa.
“Assalamualaikum, bu, aku pulang” sahutku dari luar.
Aku pun segera masuk, lalu menyusul ibu yang sedang menimba air di sumur. Tidak ingin terus dihantui pertanyaan tidak jelas, aku memberanikan diri untuk buka suara.
“Bu, aku boleh bertanya tidak?”
Ibu menoleh kearahku sambil memandangiku sekilas, lalu mengangguk. Yess, ini pertanda bahwa aku diizinkan bertanya.
“Mau tanya apa, nak? Bertanyalah yang banyak”
Sungguh ini adalah kesempatan emas, bukan hal biasa ketika seorang anak diizinkan banyak berbicara kepada orang tuanya, apalagi bertanya. Di desaku, seluruh anak memiliki kewajiban untuk patuh, dan tidak banyak bertanya. karena orangtua disini percaya, bahwa kepatuhan sang anak adalah tanda baktinya.
“Jadi bertanya tidak, Nak?”
“Oooh jadi, Bu. Aku ingin menanyakan beberapa hal”.
“Pertama, apakah bersekolah hanya untuk mereka yang punya uang saja? Kedua, apakah belajar itu hanya untuk mereka yang memiliki keinginan untuk tinggal ke kota? Ketiga, apakah aku boleh bersekolah juga? Keempat, apakah...?”
Belum selesai aku mengajukkan pertanyaan tersebut, tiba-tiba ibu menumpahkan timbanya dengan kasar. Feelingku memberi isyarat, ini pertanda buruk, mungkin ibu tersinggung atas pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan tadi,
“Maaf, Bu. Aku tidak bermaksud menyinggung ibu, aku hanya bertanya”. Tukasku,
Sekarang aku benar-benar tidak berani menghadapkan wajah ke arah ibu, baru pertama kali ini aku melihat ibu bersikap tidak seperti biasa.
“Maaf, nak. Ibu belum bisa menjawab semua pertanyaanmu tadi, coba tanyakan pada bapak saat nanti pulang dari sawah, sekarang bantu ibu menyelesaikan cucian ini saja, sehabis itu kamu makan,ya”.
Mendengar jawaban lembut dari ibu, hatiku sedikit tenang. Setidaknya ternyata ibu menjatuhkan ember dengan tidak sengaja, bukan karena marah kepadaku. Aku segera menjalankan perintah ibu, menyelesaikan cucian dan bergegas makan”.
Aku tinggal disebuah pelosok desa, benar-benar jauh dari perkotaan. Ia sangat terpencil, sebut saja desa Doplang. Ayahku seorang petani padi di desa kami, sedang ibu tidak bekerja, ibu bertugas mengurus rumah saja.
Seperti memasak, menyiapkan makanan untuk ayah, serta membereskan rumah. Di desa tempatku tinggal, belum ada penerangan. Jadi setiap sore ibu selalu membeli lilin untuk dinyalakan saat malam tiba.
Malam hari, selepas makan bersama. Ibu membuka suara, mengatakan pada bapak bahwa aku memiliki beberapa pertanyaan tadi siang, ibu menjelaskan pertanyaan-pertanyaanku pada bapak, secara detail seperti waktu aku bertanya pada ibu.
Ayah menatapku lamat-lamat, tidak marah, tidak juga senang. Seperti menanyakan kepadaku, yakinkah aku dengan pertanyaan itu? Selang beberapa detik, ayah membuka suara.
“Kamu ingin bersekolah, nak?” aku mengangguk pelan.
“Untuk apa?” aku menggelengkan kepala.
Tidak habis pikir dengan isi kepalaku, ditanya pertanyaan seremeh itu saja aku tidak bisa menjawab, bagaimana nanti jika aku betulan bersekolah. Sudah mesti aku menjadi santapan para guru akibat kebodohanku ini.
“Sekolah itu menyenangkan, nak. Tapi untuk mereka yang beruang, untuk mereka laki-laki yang memiliki tanggungjawab sebagai pencari nafkah saja. Bapak rasa, perempuan tidak perlu bersekolah, lagipula tugas perempuan adalah di rumah. Mereka (perempuan) tidak memiliki kewajiban mencari nafkah, tugasnya mereka kelak itu cuma tiga; kasur, pupur dan dapur. Selebihnya adalah tugas laki-laki, nak”
Kalimat tersebut sudah tidak asing ditelinga kita, stigma kuno yang dibangun dalam masyarakat mengenai pendidikan perempuan masih saja demikian. Hal tersebut tentu saja tidak dibenarkan, karena tidak sesuai dengan sila kelima negara Indonesia yakni : “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”
Keadilan disini maksudnya adalah persamaan hak dan kewajiban, termasuk hak menerima pendidikan dan kewajiban melaksanakan pendidikan. Mendengar jawaban bapak hatiku seperti diiris, telinga ini semacam disambar petir. Seperti tidak ada harapan baik, tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan hak bersekolah, seperti yang aku lihat dalam gambar tadi siang.
“Kalau mau bersekolah, merantaulah. Pergilah dari rumah, perjuangkanlah mimpimu itu, besok biar bapak antarkan ke terminal. Tapi untuk biaya hidupmu, tolong tanggung sendiri, karena bapak tidak mampu untuk itu. Namun tetap nak, bilamana ada rezeki sempatkanlah mengirim surat kepada kami. Kami tetap membutuhkan kabarmu. Kalau setuju, segeralah pergi ke kamar dan siapkan barang-barangmu, kita berangkat sehabis subuh”.
Mendengar jawaban bapak yang kedua, bola mataku berair. Segera kucium tangan kasar bapak dan ibuku, lalu bergegas ke kamar untuk bersiap. Hatiku diselimuti haru sekaligus bahagia, aku seperti akan dihantarkan menemui cahaya kemenangan, cahaya pendidikan, cahaya pengajaran. Sehabis subuh, rasanya tidak sabar membuka mata. Sebelum tidur, aku berdoa agar tidak kesiangan, tidak terlambat untuk menjemput asaku, mimpiku.
***
Penulis: Sipa Nuraeni
Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah, UIN Raden Mas Said Surakarta
Lahir di Bekasi, 5 April 2003, merupakan seorang Kreator digital pada komunitas Griya Peradaban dan pengajar di TPQ. Juga aktif sebagai pendongeng panggilan di beberapa TK. Tertarik pada dunia Sastra dan Pendidikan.
Editor: Saiddaeni