Oleh: Miftakhul Huda Arrofi’
Paradigma pemahaman makna mahasiswa dewasa ini telah terkonstruksi oleh sejarah lampau. Mahasiswa di Indonesia ataupun dunia telah menunjukan eksistensinya dengan perubahan yang pernah terjadi. Di tengah berbagai ruang konflik mahasiswa telah hadir digarda terdepan dengan orientasi idealisme pada nilai-nilai kebenaran serta semangat generasi muda yang mewujudkan sebuah perjuangan yang panjang.
Mahasiswa sebagai masyarakat yang terdidik dengan berbagai value yang dimiliki terbentuk sebuah lebel sebagai iron stock, agent of change, guardian of value. Label yang disandang mahasiswa ini, menjadikan eksistensi mahasiswa penting akan bergeraknya setiap dinamika kehidupan masyarakat yang terjadi. Hal tersebut dapat terwujud ketika mahasiswa memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab. Kesadaran menjadi sebuah langkah dasar dan paling awal dalam memulai peran dan fungsi hakikat mahasiswa.
Krisis Identitas
Di era globalisasi, dunia tengah mengalami sebuah transformasi yang begitu masif. Salah satunya terdapat pada percepatan informasi. Saat ini akses informasi menjadi lebih efektif dan efisien dengan adanya teknologi digital informasi yang memudahkan masyarakat. Pertukaran budaya, gagasan, mauapun informasi semakin cepat tanpa mengenal waktu dan jarak. Hal ini tentu berdampak pada masyarakat, salah satunya mahasiswa. Mahasiswa dewasa ini semakin bingung dan kehilangan jati dirinya. Ini dapat terjadi dikarenakan pengaruh cepatnya pertukaran budaya, gagasan, mauapun informasi dan minimnya filterisasi serta konsumsi yang berlebihan. Dengan ini mahasiswa semakin hari semakin banyak yang kehilangan identitas dirinya, terlebih lagi identitas sebagai hakikatnya mahasiswa.
Rekontruksi kesadaran
Krisis identitas terkait pemaknaan mahasiswa ini berdampak pada konstruksi kesadaran yang dibangun oleh mahasiswa. Hilangnya pemaknaan identitas mahasiswa yang memiliki peran sosial disamping peran akademisi ini memunculkan sebuah konstruksi kesadaran yang mementingkan keperluan individu saja dan mengabaikan problematika yang terjadi atau biasa disebut apatisme. Konstruksi kesadaran seperti ini telah banyak menjamur di kalangan mahasiswa.
Di dalam peraturan pemerintah RI No. 30 Tahun 1990 menyatakan bahwa mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi. Dalam pemahaman pengertian yang sempit tersebut memang tidak salah ketika menganggap mahasiswa dalam perkuliahan tugasnya hanya berorientasi pada peran akademis dengan datang kekampus duduk lalu mendengarkan guru berceramah dan pulang. Selain itu, konstruksi kesadaran yang dibangun mahasiswa lainnya juga hanya berkaitan pada orientasi pasar atau semata hanya untuk pekerjaan. Akan tetapi hal tersebut tidaklah mewujudkan hakikat makna mahasiswa secara luas.
Problematika konstruksi kesadaran seperti diatas perlu direkonstruksi dan direkonstruksi kembali guna mengembalikan semangat perjuangan mahasiswa. Konstruksi kesadaran mahasiswa yang hanya berorientasi sempit perlu bertransformasi agar orientasi menjadi luas dan kompleks. Rekonstruksi kesadaran ini memerlukan beberapa langkah yang holistik dan berkelanjutan dengan upaya mahasiswa itu sendiri serta dukungan sosial baik dari dosen ataupun pihak stakeholder institusi pendidikan, daerah maupun negara.
Adapun langkah tersebut seperti dengan mendengar dan melihat fenomena yang terjadi dengan memanfaatkan ruang dan kemampuan terlebih di era digital saat ini untuk melihat permasalah yang terjadi di sekitar, baik dilakukan secara berorganisasi, komunitas, ataupun individu. Lebih lanjut dengan melakukan suatu kegiatan ilmiah dengan mengadakan Penelitian, diskusi, dialog publik, seminar yang berfokus pada topik tentang fenomena yang terjadi di masyarakat. Maka, dengan beberapa langkah tersebut diharapkan dapat merekonstruksi kesadaran mahasiswa yang berorientasi sempit.
.
***
Editor: Saiddaeni